Pada Masa Keemasan Islam, Nalar dan Iman Bisa Jalan Seiiring, Bagaimana Sekarang?


ilustrasi

NALAR DAN IMAN SESEORANG SEKARANG JAUH BERBEDA....KENAPA YA?

Diera modern ini kata nalar beriringan sudah jarang terdengar atasu terlihat didunia. Berbeda dengan jaman kejayaan islam dulu. Mengapa ya kok sampai seperti itu? tapi lebih jelasnya lagi mari simak dulu ulasan dari diskusi pemuda ini.

Beberapa malam yang lampau, kami berdua—dan dua rekan kami yang lain—mendiskusikan bagaimana sesungguhnya kaitan antara iman dan nalar. Iman, arti asalnya adalah percaya. Namun, kami akan menggunakannya dalam konteks kepercayaan terhadap Tuhan.

Ini berarti percaya pada eksistensiNya, pesan-pesanNya, rencanaNya untuk manusia dan lainnya yang terkait. Dalam KBBI, nalar didefinisikan sebagai (1) pertimbangan tentang baik-buruk, dan sebagainya; (2) aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis; jangkauan pikir; atau kekuatan pikir.

Baca Juga : Proses Mengerikan Pengurusan Jenazah Orang Mati Bunuh Diri, Begitu di Luar Nalar

Kami utamanya mau mengarisbawahi kemampuan berpikir logis dan mempertimbangkan baik-buruk segala sesuatu.

Mengapa kami mendiskusikan hubungan keduanya? Karena kami prihatin tentang situasi yang melanda Indonesia sudah lebih dari satu tahun ini. Bahkan mungkin bisa dilacak lebih jauh, terutama terkait dengan peristiwa-peristiwa tertentu.

Kami berdua dan dua rekan kami itu, benar-benar terperangah dengan perilaku umat Islam, agama yang kami anut, di negeri ini. Sepintas, dan banyak yang mengamini, ada hipotesis yang sangat menyakitkan: semakin tinggi iman, semakin rendah nalar.

Kami lalu mendiskusikan ini dengan cukup serius. Kami tak bisa terima dengan hipotesis gebyah uyah itu walaupun banyak orang yang mendukungnya.

Kami semua sudah pernah mendengar kutbah-kutbah Jumat dan ceramah-ceramah agama yang menyarankan untuk meninggalkan nalar ketika mendekati persoalan agama.

 Agama, sebagai perwujudan iman yang lebih terorganisasi, dibuat seakan-akan adalah persoalan ‘hati’ semata. Tak boleh ‘akal manusia yang terbatas’ ikut campur dalam persoalan itu. Dan, cukup banyak yang memercayai bahwa itu adalah pendirian yang benar.

Baca Juga : Subhanallah, Tanaman-tanaman Ini Tumbuh di Luar Nalar Manusia

Padahal—kalau mengingat apa yang terjadi di dalam sejarah Islam menentukan status hadith saja adalah upaya nalar. Demikian juga dengan ushul fiqh dan aliran-aliran fiqh yang diturunkannya.

 Zaman keemasan Islam adalah zaman di mana nalar sangat dipergunakan, dengan hasil kemajuan ilmu pengetahuan yang luar biasa, yang masih terus kita saksikan jejak-jejaknya hingga sekarang. Sesungguhnya, sejarah Islam mengajarkan bahwa memanfaatkan nalar, dengan panduan etis dari iman atau agama, adalah resep kejayaan. Sementara, memunggungi nalar adalah resep untuk kemunduran.

Kami tentu ingat pernyataan mahafisikawan Albert Einstein bahwa “Science without religion is lame, religion without science is blind.” Kalimat ini sudah ditafsirkan secara beragam. Tetapi, mengingat Einstein sendiri tidaklah cenderung pada organised religion.

Kami juga tahu ada sebuah teks yang dinyatakan sebagai hadith, “Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal.” Namun, kalau diperiksa perdebatan tentang teks tersebut yang menggunakan nalar maka perbedaaan pendapat juga sangat kuat soal statusnya.

Karenanya, kami mau mencoba hal yang lain. Kami tidak melakukan penelitian ilmiah untuk urusan ini. Jadi, kami tak bisa secara kokoh menyangkal atau menyetujui hipotesis ‘kurang ajar’ atas hubungan iman dan nalar itu. Kami lalu banting setir.

Kami membuat tipologi sederhana, di mana kecenderungan sikap manusia bisa dimasukkan ke dalam tipologi itu. Caranya, dengan menyilangkan antara iman dan nalar dalam sebuah matriks 2 x 2. Iman bisa dianggap rendah dan tinggi, demikian juga nalar. Tentu, ini penyederhanaan yang luar biasa. Tetapi, kami berharap ini tetap membawa manfaat.

Dengan matriks itu, kita memiliki empat kuadran: iman rendah  nalar rendah; iman tinggi  nalar rendah; iman rendah nalar tinggi; iman tinggi nalar tinggi.

Baca Juga : MasyaAllah, Ternyata Saat Membaca Surat Al-Fatihah Kita Berdialog dengan Allah

Iman rendah - nalar rendah adalah sifat manusia di kuadran pertama. Orang-orang jenis ini, sama-sama tidak bisa, atau tidak mampu menerima kebenaran pesan Tuhan maupun logika. Kalau zaman dahulu, mungkin ini manusia tipe Abu Jahal.
Apapun kebenaran logika yang disampaikan padanya, kalau tidak cocok dengan keinginan dan kepentingannya, pasti ditolak. Begitu juga ketika kebenaran Tuhan didakwahkan padanya. Tetap saja dia istiqamah dalam kekufuran. Jadilah manusia ini atheis sekaligus bodoh nggak ketulungan.

Penting dipahami bahwa iman rendah sendiri belum tentu berarti atheis, yang berarti sepenuhnya tak percaya pada eksistensi Tuhan. Ada juga anti-theis yang percaya bahwa Tuhan dan agama itu membahayakan, agnostik yang percaya bahwa keberadaan Tuhan itu tak bisa diketahui manusia.

Kalau sikap mereka terhadap Tuhan yang demikian membuat mereka tak memiliki panduan moral dari Langit, nalar yang rendah membuat mereka terkungkung dalam kebodohan. Wujudnya yang kita saksikan sekarang ada di antara mereka yang setiap hari sarapan, makan siang, dan makan malam hoax yang menyenangkan hatinya.

Dia tidak peduli (karena iman yang rendah) dan tidak bisa mengetahui (karena nalar yang rendah) apakah sarapannya itu berita yang benar atau hanya rekaan para ‘sastrawan’ kesiangan. Bukan itu saja.

Dia juga akan dengan senang hati berbagi kesenangan akan berita bohong (lagi-lagi karena bodoh), apalagi jika dibayar besar (karena tak beriman). Manusia jenis ini akan banyak makan korban. Rusak, lagipula merusakkan. Zaman dulu, salah satu korbannya adalah sahabat Nabi, Bilal. Zaman sekarang, mereka yang difitnah dan dipersekusi adalah korban mereka yang beriman dan bernalar rendah.

Iman tinggi - nalar rendah adalah kuadran kedua. Keimanan yang tinggi tetapi lantaran nalarnya yang rendah, kerap hanya ditunjukkan oleh tanda-tanda fisik—berupa atribut-atribut keagamaan, ucapan yang seringkali diikuti oleh kutipan ayat suci, ketaatan beribadah tanpa perilaku yang sesuai—membuatnya tampak seperti orang suci.

Kalau ia pemimpin, semua ucapannya didengar dan ditaati oleh pengikutnya tanpa kecuali, karena pengikutnya kebanyakan ada pada kuadran yang sama—hal mana juga berlaku buat kuadran yang lain.

Baca Juga : Hanya dengan Jawab 2 Pertanyaan Ini, Ternyata Kemampuan Intelektualmu Bisa Ditentukan Lho

Sayangnya, karena nalarnya rendah, logikanya tertutup oleh dogma-dogma. Ia menutup diri dari pembaharuan berdasarkan pembuktian yang nyata. Seringkali, karena imannya itu, ia dengan mudahnya percaya aneka berita bohong yang dibumbui latar belakang agama.

Maka bertebaranlah cerita hoax Neil Armstrong jadi mualaf, astronot perempuan pertama di dunia yang pindah agama, rekayasa genetika babi berwujud sapi atau Raja Brunei yang mengancam akan membeli Singapura.

Manusia jenis ini jelaslah berbahaya, karena ia bisa melakukan tindakan apa saja atas nama agama. Contoh korban paling terkenal di masa lalu adalah Galileo Galilei, yang harus menjalani hukuman mati dengan meminum racun gegara tidak bersedia mengubah keyakinannya mengenai bumi yang bulat dan beredar mengelilingi Sang Surya.

Kuadran ketiga berisi manusia dalam tipe iman rendah - nalar tinggi. Manusia jenis ketiga ini unik. Dia dianugerahi kemampuan membedakan kebaikan dan keburukan karena memiliki kemampuan nalar yang tinggi. Sayangnya, nalar yang tinggi itu memang belum membawanya pada hidayah, sehingga kehidupan ruhaninya kosong.

Terkadang kesombongan merupakan ciri mereka yang mengisi kuadran ini. Itu karena merasa superior sebagai orang yang pandai. Tetapi, ada juga yang nalarnya membuat mereka menemukan moral compass yang kokoh, misalnya yang menghasilkan Humanisme.

Kalau kesombongan menguasai orang di kuadran ini, maka hasilnya biasanya adalah perilaku lainnya yang tidak menyenangkan (ingat Darwinis modern bernama Richard Dawkins yang percaya bahwa manusia yang beriman pada Tuhan itu sesungguhnya mengalami delusi?).

Bahkan terkadang menunjukkan kejahatan. Ketika nalarnya membawa kepada etika baik-buruk, orang ini bukan saja tidak berbahaya, karena dia tahu apa yang seharusnya dilakukan, dan apa yang seharusnya tidak dilakukan; melainkan bisa menjadi manusia yang sangat bermanfaat.

Hubungan antar-manusianya dijaga dengan moralitas. Dia mungkin rusak (dari sudut pandang iman atau agama formal), tapi tidak merusakkan. Dia dipandang rusak, tapi tidak mengganggu orang lain.

Kuadran terakhir ditempati mereka yang beriman tinggi dan diimbangi pula dengan nalar tinggi. Keimanan yang tinggi dari manusia jenis ini tercermin dari kualitas ibadah ritual, dan juga perilakunya yang sesuai.

Nalar yang tinggi tercermin dari pemahaman yang dalam dan luas akan teks-teks kitab suci. Bukan sekedar tafsir permukaan, tapi lebih dalam pada pemaknaan yang lebih kontekstual, komprehensif dan esensial.

Baca Juga : Apakah Menurut Anda Tuhan itu Ada? Kisah Ini Akan Membuktikannya

Ia juga sangat terbuka pada pemikiran baru, dengan tetap menapis dan mengkajinya dengan nalar. Mereka percaya bahwa sesungguhnya nalar adalah karunia universal dari Tuhan untuk seluruh umat manusia, dan alam beserta seluruh isinya adalah juga ayat-ayat suci yang melalui mana Tuhan berbicara kepada mereka. Nalar dan iman adalah komplementer.

Di dunia Islam, para pemuka agama sekaligus ilmu pengetahuan bukannya sedikit, sayangnya sekarang kita belum ada pada masa kejayaan Islam yang contoh-contoh manusia unggul itu sedemikan banyaknya.

Merekalah manusia lebah. Manusia yang baik dan membaikkan. Hanya mengonsumsi yang baik-baik. Hanya memproduksi yang baik-baik. Keberadaannya di manapun, menjadi rahmat bagi dirinya sendiri, masyarakat maupun lingkungan.

Itulah empat kuadran yang kami pikirkan. Tentu, seperti yang telah dinyatakan, ini adalah penyederhanaan. Namun, seluruh tipologi yang pernah dihasilkan adalah penyederhanaan realitas. Kami mengundang semua pembaca untuk merefleksikan isu hubungan iman-nalar ini, dengan harapan kita semua bisa menggapai kuadran keempat.

Dan, dengan ‘kita’ yang kami maksud bukan hanya umat Islam, tetapi seluruh umat beragama lainnya. Semoga kita semua bisa berlomba-lomba menunjukkan kebaikan bagi manusia dan lingkungan, sebagai bukti iman kita kepada Tuhan dan rasa bersyukur atas karuniaNya yang bernama nalar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel