Ini Yang Bikin Binggung Orang Tua, Bagaimana Menyikapi Anak Yang Suka Memegang Kemaluannya
Kebanyakan orangtua bingung, bagaimana menyikapi anak yang sering memegang kemaluannya. Haruskah dilarang atau dibiarkan saja?
Terkejut, tidak senang, spontan ditunjukkan orangtua ketika melihat si buyung memegang-megang penisnya. Bahkan tak jarang langsung marah atau mengancam, “Awas ya, kalau sekali lagi Bunda lihat Adek main-mainin ‘burungnya’…!” Bahkan, ada pula orangtua langsung memukul tangan anaknya saat itu juga.
Tindakan ini jelas mengejutkan si anak yang tak tahu kenapa ia dilarang keras memegang-megang penisnya, sementara ia tak dilarang memegang bagian tubuh lainnya. Bila orangtua tak memberi penjelasan yang bisa dimengertinya, bisa jadi anak semakin penasaran dan malah terus memainkan alat kelaminnya secara sembunyi-sembunyi.
Wajar dan Normal
Pada fase tersebut, lanjutnya, anak-anak—biasanya sebelum usia sekolah, yaitu 1-6 tahun—masih ingin tahu apa yang ada dalam diri mereka, seperti telinga, mata, mulut, termasuk juga kelaminnya. “Saat ini anak-anak sudah bisa merasakan fase kenikmatan pada alat kelaminnya. Namun secara kognitif, mereka belum tahu seperti orang dewasa. Mereka hanya merasakan perasaan enak ketika memainkannya, tapi tidak ada pikiran tentang seks,” papar Septiana.
Dalam pandangan Sigmund Freud (1856–1939), perilaku memegang-megang alat kelamin seperti ini pun termasuk wajar. Menurut tokoh psikoanalisis ini insting seksual sudah ada sejak bayi dilahirkan. Fase-fase yang dilalui seorang anak pun tak lepas dari insting ini.
Fase awal adalah fase oral, yaitu saat kenikmatan berpusat pada mulut, terutama saat bayi menyusu kepada ibunya. Lalu fase anal, ketika kenikmatan berada di seputar anus. “Biasanya mereka senang pipis atau pup (buang air besar –red) berkali-kali atau sebaliknya malah menahan pipis atau pup,” kata Septiana.
Kemudian masuk ke fase falik, saat telah timbul kesadaran akan organ genital atau kelamin mereka. Kenikmatan di daerah genital sudah bisa mereka rasakan, hingga anak memang senang memegang atau menyentuh alat kelaminnya. Dilanjutkan fase laten, anak mulai disibukkan dengan kehidupan sosial, seperti teman, sekolah dan guru. Terakhir fase genital, yaitu ketika anak mulai menghadapi masa puber dan berbagai persoalan menuju kedewasaannya.
Jadi dilihat dari teori di ranah psikologi yang ada, perilaku seperti ini adalah sebuah kewajaran dan normal terjadi pada anak-anak. Diakui Septiana, aktivitas memainkan alat kelamin ini memang lebih banyak dilakukan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, karena pada anak lelaki kelaminnya terlihat, sementara anak perempuan tersembunyi.
Arahkan dengan Bijak
Memerintahkan anak untuk menghentikan sama sekali perilakunya ini bukanlah hal yang bijak dilakukan oleh orangtua. “Justru jika ini dihentikan begitu saja, anak akan kehilangan satu fase dalam kehidupan mereka. Dikhawatirkan malah akan berdampak negatif bagi masa depannya,” jelas Septiana. Menurut Freud, bila anak tidak terpuaskan atau tidak terpenuhi kebutuhannya dalam satu fase perkembangan, maka fase ini justru akan berulang kembali di masa depan.
Ibu dua anak ini melanjutkan, yang perlu dilakukan adalah mengurangi frekuensinya. “Jangan terlalu sering, sesekali saja boleh supaya mereka tahu anggota tubuh mereka,” imbuhnya. Tak perlu terlalu khawatir karena pada tahap ini anak belum mengetahui gambaran seksual, mereka hanya menikmati sensasi rasa nikmat.
Terkadang, orangtua justru menganggap anak kecil adalah orang dewasa berukuran mini yang sudah memiliki kognisi, afeksi, perilaku sebagaimana orang dewasa. Padahal jelas mereka masih anak-anak dengan kognisi, afeksi dan perilaku anak-anak hingga mereka belum memiliki gambaran seksual tadi.
Namun begitu, saat buah hati memegang atau bahkan memainkan alat kelaminnya, tetap berikan penjelasan yang benar tentang apa yang ia lakukan itu. Memang tidak bisa diterangkan langsung saat itu juga karena akan mengagetkan anak. Alihkan dulu kepada kegiatan lain atau kepada mainan yang ada di sekitar situ. Setelah keadaannya lebih tenang, baru berikan pengertian.
“Kita bisa mulai dengan menanyakan apa yang mereka rasakan. Nanti dari jawaban mereka bisa kita kembangkan menjadi penjelasan. Jadi awalnya kita dulu yang berusaha memahami perasaan anak,” tuntun Septiana yang hobi traveling dan memasak ini.
Saat menjelaskan, beri uraian yang sederhana sesuai usia mereka. Anak-anak usia 5 tahun biasanya sudah mengerti penjelasan yang sederhana. Misalnya, bahwa yang dipegangnya itu adalah tempat pipis yang harus dijaga kebersihannya, makanya jangan sering dipegang-pegang. Seiring dengan itu bisa diterangkan pula cara bersuci dari hadas kecil dan hadas besar. Penjelasan ini pun tak hanya satu kali diberikan. Berikan terus dengan sabar setiap kali anak mengulang perilakunya hingga akhirnya ia mengerti.
Hal yang perlu dihindari adalah orang dewasa justru memicu anak melakukan itu. Misalnya saat anak memainkan kemaluannya, orangtua atau pengasuhnya malah tertawa dan menganggap lucu. Sikap seperti itu akan membuat anak merasa diperhatikan dan mendorongnya untuk terus berperilaku demikian karena melihat ekspresi orangtua atau pengasuhnya yang senang.
Waspadai pula bila ada orang dewasa di sekitarnya yang justru memainkan kemaluan anak. Kalau begini kasusnya, ini sudah masuk dalam tindakan pelecehan seksual (sex abuse) pada anak dan jelas bisa berpengaruh buruk pada anak secara fisik maupun psikis. “Beritahu anak-anak kalau ada orang yang pegang alat kelaminnya, mereka harus berontak dan posthu orangtua. Jelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami anak dan hindari kata-kata berlebihan yang malah menakut-nakuti anak,” terang Septiana.
Sebagai sebuah organ tubuh, kemaluan adalah bagian yang mesti dikenalkan kepada anak. Bimbing pula anak untuk memperlakukan bagian tubuhnya itu dengan hormat dan dengan cara yang benar pula.