Dimana Negara Yang Adil! Harga Beras Naik Gaji DPR Juga Ikut Naik! Tapi Bagaimana Dengan Nasib Orang Ini
Banyak orang yang menderita karena kenaikan harga beras. Beras dengan harga biasanya saja mereka sudah keberatan untuk membeli. Apalagi kalau harganya di naik, bagaimana keadaan mereka. Dimana keadilan di negeri ini. (Sumber: Merdeka.com).
Gaji DPR saja naik tapi bantuan kepada orang yang tidak mampu tidak ada. Apa yang ada di pikiran pemerintah saat ini?
Meski tidak menjelaskan rinci dana reses anggota DPR, tetapi jika mengacu pada angka terakhir, tiap anggota DPR mendapatkan dana reses Rp 150 juta dari nominal sebelumnya Rp 40 juta. Dana ini hanya buat anggota, belum termasuk staf, tenaga ahli dan aspri.
Hal yang mengejutkan lagi adalah dalam kode etik DPR, penggunaan dana reses tidak diatur secara spesifik laporan pertanggungjawabannya. Hal itu dikarenakan laporan reses bersifat administratif. Karena bebasnya penggunaan dana tanpa terikat laporan pertanggungjawaban ini, berimbas pada sanksi yang juga tidak secara spesifik diatur. Hanya ada aturan norma umum seperti larangan bagi anggota untuk menyalahgunakan wewenang.
Berbagai fasilitas yang dimiliki anggota DPR ini seakan berbanding terbalik dengan kondisi rakyat Indonesia. Terlebih harga beras sekarang yang melejit tinggi, tentu berimbas pada kehidupan rakyat miskin. Boro-boro makan enak, bisa mengisi perut yang kosong pun suatu berkah bagi rakyat miskin.
Inilah kehidupan 5 orang yang sangat miris:
Selain masa istirahat parlemen bertambah, juga ada perubahan besaran dana operasional reses yang masuk ke kantong wakil rakyat. Sekretaris Jenderal DPR Winantuningtyastiti membenarkan adanya perubahan anggaran reses anggota DPR. Tetapi soal angkanya, Winantuningtyastiti tidak menyebutkan pasti.
"Makan bubur sudah tahunan Pak. Uang hanya bisa beli beras, kadang ada lebih bisa beli sebutir telur dibagi bertiga," aku Ketut Sareng, sambil mengusap peluhnya usai meringkes barang rongsokan, Selasa (17/2) di Jembrana, Bali.
Selama 11 tahun mereka tinggal di gubuk ini, diakuinya belum satupun tersentuh oleh pemerintah. "Hanya petugas jurtik (juru jentik nyamuk) yang datang, tapi periksa nyamuk bukan periksa kami," sentilnya bercanda.
Mengharukan lagi, bila hujan tiba, mereka tidur seperti babi di kubangan lumpur. Bahkan tidak jarang dia dikerubungi kaki seribu dan cacing tanah, lantaran tidur di atas tanah menyatu dengan tumpukan rongsokan botol plastik bekas. Bahkan untuk MCK, kebun semak belukar sudah jadi tempatnya.
"Kami sudah tidak punya tempat tinggal lagi. Kami mau pindah, tapi harus ke mana, dan kami belum mendapat tempat. Kami memang di sini sudah diusir karena katanya tanah ini sudah laku dijual," kata Runtini dengan mata berkaca-kaca.
Salah satunya Suraidah, warga Desa Sei Limau Kecamatan Sebatik Tengah Kabupaten Nunukan. Dia bercerita kisahnya mengabdi pada sebuah sekolah swasta di wilayahnya. Keputusan mengajar itu diambil atas keprihatinannya terhadap sejumlah anak-anak dari buruh perkebunan di Malaysia yang banyak tidak mengenyam pendidikan.
Selama mengabdikan diri di sekolah itu, Suraidah mengatakan belum pernah mendapatkan imbalan atas tenaga dan waktunya. Dia mengaku tulus melakukan ini tanpa mengharapkan imbalan dari pemerintah.
Bersama tiga temannya, Suraidah juga mengungkapkan, suka duka mengajar anak-anak perbatasan. Di mana karena keterbatasan fasilitas, dia acap kali harus menggunakan ruang belajar di kolong rumah warga untuk mengajar.
Menurut Suraidah, sekolah tempatnya mengajar berada di bawah naungan Yayasan Ar-Rasyid Cabang Perbatasan yang terletak di Jalan Asnur Gaeng Pasau RT 12 Dese Sei Limau Kecamatan Sebatik Tengah. Sekolah ini bekerja sama dengan Yayasan Dompet Dhuafa Cabang Kaltim di mana saat ini sudah membina 60 murid terdiri dari tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD), SD dan SMP.
Lalu dimana tindakan pemerintah. Bukankah pendidikan sangat penting untuk kemajuan negeri ini. Semoga Suraidah segera mendapat bantuan dari pemerintah. Jasa Suraidah sangat besar dia suka rela mengajar murid muridnya tanpa di kenai biaya sedikit pun.
Masuda yang renta ini kini hanya tinggal dengan cucunya yang juga yatim piatu dan dirawatnya sejak kecil di gubuk reyot tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Masuda hanya bisa berjualan cabai dan makanan kecil di rumahnya. Terkadang dia juga membuat sapu lidi dan berjualan kayu bakar.
Ditemui di gubuknya, Musada mengaku tinggal menumpang di tanah milik adiknya sejak puluhan tahun lalu.
"Sejak saya menikah, suami saya tidak memiliki tanah. Namun jika diberikan bantuan bedah rumah, adik saya memberikan tanah ini untuk ditempati," jelas wanita yang sudah renta ini, Kamis (26/2) di Jembrana.
Dikatakannya dalam sehari belum tentu dia mendapatkan uang. Sehingga dia hanya bisa memanfaatkan beras miskin yang didapatkannya, dan dicampur dengan jagung atau ketela untuk menghemat beras.
"Kadang kami makan nasi dengan garam saja, kadang pakai sayur, itupun kalau punya uang. Cucu saya harus makan nasi dan bekal kalau mau sekolah, kalau tidak, dia nangis," ujar Masuda lirih.
Masuda mengaku pasrah dengan kondisi hidupnya sekarang ini. Dia hanya berharap tidak sampai sakit keras seperti yang dialami suaminya, karena dia takut tidak ada yang merawatnya.
Masuda yang renta ini kini hanya tinggal dengan cucunya yang juga yatim piatu dan dirawatnya sejak kecil di gubuk reyot tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Masuda hanya bisa berjualan cabai dan makanan kecil di rumahnya. Terkadang dia juga membuat sapu lidi dan berjualan kayu bakar.
Ditemui di gubuknya, Musada mengaku tinggal menumpang di tanah milik adiknya sejak puluhan tahun lalu.
"Sejak saya menikah, suami saya tidak memiliki tanah. Namun jika diberikan bantuan bedah rumah, adik saya memberikan tanah ini untuk ditempati," jelas wanita yang sudah renta ini, Kamis (26/2) di Jembrana.
Dikatakannya dalam sehari belum tentu dia mendapatkan uang. Sehingga dia hanya bisa memanfaatkan beras miskin yang didapatkannya, dan dicampur dengan jagung atau ketela untuk menghemat beras.
"Kadang kami makan nasi dengan garam saja, kadang pakai sayur, itupun kalau punya uang. Cucu saya harus makan nasi dan bekal kalau mau sekolah, kalau tidak, dia nangis," ujar Masuda lirih.
Masuda mengaku pasrah dengan kondisi hidupnya sekarang ini. Dia hanya berharap tidak sampai sakit keras seperti yang dialami suaminya, karena dia takut tidak ada yang merawatnya.
Entah penyakit apa yang menggerogoti Guntur yang ngefans sama Ariel NOAH ini. Yang pasti sudah enam tahun ini tangan dan tubuh Guntur mengecil serta tidak bisa digerakan. Kondisi itu juga menyebabkan bibir Guntur kaku alias bisu.
Guntur kini tinggal di sebuah rumah kecil di gang sempit atau gang Budi V nomor 31 RT 04 RW 03 Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Cicendo, Kota Bandung. Dia diasuh Kokom (55) adik dari neneknya.
Lantas kemana kedua orangtuanya? Kokom berkisah perjalanan panjang bocah yang kini menjadi sebatang kara tersebut. Guntur kata dia, pernah mendapatkan kasih sayang seutuhnya dari kedua orangtua. Hanya saja cinta dari orang terkasih itu hilang disaat dirinya lumpuh tak berdaya. Saat itu usia Guntur 2,5 tahun. Ibunya, Nurhayati, meninggal dunia karena sakit paru-paru.
Guntur tentu membutuhkan seorang ayah, tapi entah apa yang ada dibenak ayahnya bernama Dadan tersebut. Dia malah meninggalkan Guntur usai 7 hari kematian istrinya. Tanpa kabar dan tanpa rasa bersalah, Dadan pergi tak berbekas. Hingga kini tidak diketahui rimbanya. Pada akhirnya beban hidup Guntur diberikan kepada kakek dan neneknya. Cobaan itu hadir lagi, neneknya meninggal diusia Guntur yang ketiga. Adapun kakeknya baru-baru ini sudah 100 hari dijemput Yang Maha Kuasa.
"Sekarang kondisinya seperti ini dan saya yang merawat," kisah Kokom kepada wartawan di kediaman sederhananya itu, Jumat (6/2).
"Dulu mah masih bisa jalan dan sempat bisa ngomong juga, tapi badannya dulu sempat panas dan kemudian diterapi di rumah sakit tapi malah tambah panas," tuturnya.
"Lahan pertanian kami tergerus akibat pengembangan kelapa sawit yang dilakukan perusahaan swasta. Saat ini, warga Binggi hanya mampu mengonsumsi Ubi Talas yang dikumpulkan dari hutan sebagai pengganti beras untuk bisa bertahan hidup," kata Ube, warga suku terasing dengan bahasa khas lokal di Pasangkayu, seperti dikutip dari Antara, Kamis (30/10).
Menurut dia, untuk mendukung ekonomi masyarakat terasing maka mereka setiap hari mengumpulkan batu gunung untuk kemudian dijual.
"Lahan kami berada di pinggiran lahan HGU milik perusahaan sawit. Bahkan, tanah adat yang turun temurun ditempati telah dirampas perusahaan sawit. Bahkan, kami diusir ke luar untuk perluasan lahan sawit milik perusahaan tanpa ganti rugi," kata Ube, yang juga tokoh masyarakat suku terasing.
Dia mengatakan untuk bertahan hidup maka suku terasing harus mengonsumsi umbi-umbian sebagai pengganti beras.
"Setiap harinya baik perempuan maupun laki-laki harus ke hutan guna mencari talas untuk dimakan pada siang hari. Setelah sorenya maka warga kembali menambang batu gunung untuk mendukung beban ekonomi," jelasnya.
Apalagi, kata dia, semenjak tanah adat yang ditempati secara turun temurun sudah tidak ada karena semua lahan itu telah "dirampas perusahaan".
"Sebetulnya kami sudah berpindah ke pinggir lahan perkebunan semenjak lahan kami jadi kebun sawit yang konon berada di kawasan HGU," jelasnya.
Ia menyesalkan karena nyaris tak ada perhatian pemerintah kepada suku terasing dengan mementingkan kapitalis yang telah menguasai lahan warga. Ube menyampaikan dusun Saluraya saat ini hanya dihuni 45 kepala keluarga dengan kondisi atap rumah yang mulai bocor-bocor dan tidak berdinding.
Sungguh sangat miris nasib orang-orang tersebut. Apa yang ada di benak pemerintah saat ini. Semoga pemerintah segera memberikan bantuan kepada orang-orang tersebut, agar mereka dapat hidup tentram. Serta tinggal di rumah yang layak.
Gaji DPR saja naik tapi bantuan kepada orang yang tidak mampu tidak ada. Apa yang ada di pikiran pemerintah saat ini?
Meski tidak menjelaskan rinci dana reses anggota DPR, tetapi jika mengacu pada angka terakhir, tiap anggota DPR mendapatkan dana reses Rp 150 juta dari nominal sebelumnya Rp 40 juta. Dana ini hanya buat anggota, belum termasuk staf, tenaga ahli dan aspri.
Hal yang mengejutkan lagi adalah dalam kode etik DPR, penggunaan dana reses tidak diatur secara spesifik laporan pertanggungjawabannya. Hal itu dikarenakan laporan reses bersifat administratif. Karena bebasnya penggunaan dana tanpa terikat laporan pertanggungjawaban ini, berimbas pada sanksi yang juga tidak secara spesifik diatur. Hanya ada aturan norma umum seperti larangan bagi anggota untuk menyalahgunakan wewenang.
Berbagai fasilitas yang dimiliki anggota DPR ini seakan berbanding terbalik dengan kondisi rakyat Indonesia. Terlebih harga beras sekarang yang melejit tinggi, tentu berimbas pada kehidupan rakyat miskin. Boro-boro makan enak, bisa mengisi perut yang kosong pun suatu berkah bagi rakyat miskin.
Inilah kehidupan 5 orang yang sangat miris:
1. Pasutri tua tinggal di gubuk reyot beralas tanah
Selain masa istirahat parlemen bertambah, juga ada perubahan besaran dana operasional reses yang masuk ke kantong wakil rakyat. Sekretaris Jenderal DPR Winantuningtyastiti membenarkan adanya perubahan anggaran reses anggota DPR. Tetapi soal angkanya, Winantuningtyastiti tidak menyebutkan pasti.
"Makan bubur sudah tahunan Pak. Uang hanya bisa beli beras, kadang ada lebih bisa beli sebutir telur dibagi bertiga," aku Ketut Sareng, sambil mengusap peluhnya usai meringkes barang rongsokan, Selasa (17/2) di Jembrana, Bali.
Selama 11 tahun mereka tinggal di gubuk ini, diakuinya belum satupun tersentuh oleh pemerintah. "Hanya petugas jurtik (juru jentik nyamuk) yang datang, tapi periksa nyamuk bukan periksa kami," sentilnya bercanda.
Mengharukan lagi, bila hujan tiba, mereka tidur seperti babi di kubangan lumpur. Bahkan tidak jarang dia dikerubungi kaki seribu dan cacing tanah, lantaran tidur di atas tanah menyatu dengan tumpukan rongsokan botol plastik bekas. Bahkan untuk MCK, kebun semak belukar sudah jadi tempatnya.
"Kami sudah tidak punya tempat tinggal lagi. Kami mau pindah, tapi harus ke mana, dan kami belum mendapat tempat. Kami memang di sini sudah diusir karena katanya tanah ini sudah laku dijual," kata Runtini dengan mata berkaca-kaca.
2. Guru Pembatasan mengajar di rumahnya dan tidak dibayar.
Salah satunya Suraidah, warga Desa Sei Limau Kecamatan Sebatik Tengah Kabupaten Nunukan. Dia bercerita kisahnya mengabdi pada sebuah sekolah swasta di wilayahnya. Keputusan mengajar itu diambil atas keprihatinannya terhadap sejumlah anak-anak dari buruh perkebunan di Malaysia yang banyak tidak mengenyam pendidikan.
Selama mengabdikan diri di sekolah itu, Suraidah mengatakan belum pernah mendapatkan imbalan atas tenaga dan waktunya. Dia mengaku tulus melakukan ini tanpa mengharapkan imbalan dari pemerintah.
Bersama tiga temannya, Suraidah juga mengungkapkan, suka duka mengajar anak-anak perbatasan. Di mana karena keterbatasan fasilitas, dia acap kali harus menggunakan ruang belajar di kolong rumah warga untuk mengajar.
Menurut Suraidah, sekolah tempatnya mengajar berada di bawah naungan Yayasan Ar-Rasyid Cabang Perbatasan yang terletak di Jalan Asnur Gaeng Pasau RT 12 Dese Sei Limau Kecamatan Sebatik Tengah. Sekolah ini bekerja sama dengan Yayasan Dompet Dhuafa Cabang Kaltim di mana saat ini sudah membina 60 murid terdiri dari tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD), SD dan SMP.
Lalu dimana tindakan pemerintah. Bukankah pendidikan sangat penting untuk kemajuan negeri ini. Semoga Suraidah segera mendapat bantuan dari pemerintah. Jasa Suraidah sangat besar dia suka rela mengajar murid muridnya tanpa di kenai biaya sedikit pun.
3. Janda tinggal di rumah usang dan setiap hari makan nasi garam.
Masuda yang renta ini kini hanya tinggal dengan cucunya yang juga yatim piatu dan dirawatnya sejak kecil di gubuk reyot tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Masuda hanya bisa berjualan cabai dan makanan kecil di rumahnya. Terkadang dia juga membuat sapu lidi dan berjualan kayu bakar.
Ditemui di gubuknya, Musada mengaku tinggal menumpang di tanah milik adiknya sejak puluhan tahun lalu.
"Sejak saya menikah, suami saya tidak memiliki tanah. Namun jika diberikan bantuan bedah rumah, adik saya memberikan tanah ini untuk ditempati," jelas wanita yang sudah renta ini, Kamis (26/2) di Jembrana.
Dikatakannya dalam sehari belum tentu dia mendapatkan uang. Sehingga dia hanya bisa memanfaatkan beras miskin yang didapatkannya, dan dicampur dengan jagung atau ketela untuk menghemat beras.
"Kadang kami makan nasi dengan garam saja, kadang pakai sayur, itupun kalau punya uang. Cucu saya harus makan nasi dan bekal kalau mau sekolah, kalau tidak, dia nangis," ujar Masuda lirih.
Masuda mengaku pasrah dengan kondisi hidupnya sekarang ini. Dia hanya berharap tidak sampai sakit keras seperti yang dialami suaminya, karena dia takut tidak ada yang merawatnya.
Masuda yang renta ini kini hanya tinggal dengan cucunya yang juga yatim piatu dan dirawatnya sejak kecil di gubuk reyot tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Masuda hanya bisa berjualan cabai dan makanan kecil di rumahnya. Terkadang dia juga membuat sapu lidi dan berjualan kayu bakar.
Ditemui di gubuknya, Musada mengaku tinggal menumpang di tanah milik adiknya sejak puluhan tahun lalu.
"Sejak saya menikah, suami saya tidak memiliki tanah. Namun jika diberikan bantuan bedah rumah, adik saya memberikan tanah ini untuk ditempati," jelas wanita yang sudah renta ini, Kamis (26/2) di Jembrana.
Dikatakannya dalam sehari belum tentu dia mendapatkan uang. Sehingga dia hanya bisa memanfaatkan beras miskin yang didapatkannya, dan dicampur dengan jagung atau ketela untuk menghemat beras.
"Kadang kami makan nasi dengan garam saja, kadang pakai sayur, itupun kalau punya uang. Cucu saya harus makan nasi dan bekal kalau mau sekolah, kalau tidak, dia nangis," ujar Masuda lirih.
Masuda mengaku pasrah dengan kondisi hidupnya sekarang ini. Dia hanya berharap tidak sampai sakit keras seperti yang dialami suaminya, karena dia takut tidak ada yang merawatnya.
4. Anak yang lumpuh hidup sendirian.
Entah penyakit apa yang menggerogoti Guntur yang ngefans sama Ariel NOAH ini. Yang pasti sudah enam tahun ini tangan dan tubuh Guntur mengecil serta tidak bisa digerakan. Kondisi itu juga menyebabkan bibir Guntur kaku alias bisu.
Guntur kini tinggal di sebuah rumah kecil di gang sempit atau gang Budi V nomor 31 RT 04 RW 03 Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Cicendo, Kota Bandung. Dia diasuh Kokom (55) adik dari neneknya.
Lantas kemana kedua orangtuanya? Kokom berkisah perjalanan panjang bocah yang kini menjadi sebatang kara tersebut. Guntur kata dia, pernah mendapatkan kasih sayang seutuhnya dari kedua orangtua. Hanya saja cinta dari orang terkasih itu hilang disaat dirinya lumpuh tak berdaya. Saat itu usia Guntur 2,5 tahun. Ibunya, Nurhayati, meninggal dunia karena sakit paru-paru.
Guntur tentu membutuhkan seorang ayah, tapi entah apa yang ada dibenak ayahnya bernama Dadan tersebut. Dia malah meninggalkan Guntur usai 7 hari kematian istrinya. Tanpa kabar dan tanpa rasa bersalah, Dadan pergi tak berbekas. Hingga kini tidak diketahui rimbanya. Pada akhirnya beban hidup Guntur diberikan kepada kakek dan neneknya. Cobaan itu hadir lagi, neneknya meninggal diusia Guntur yang ketiga. Adapun kakeknya baru-baru ini sudah 100 hari dijemput Yang Maha Kuasa.
"Sekarang kondisinya seperti ini dan saya yang merawat," kisah Kokom kepada wartawan di kediaman sederhananya itu, Jumat (6/2).
"Dulu mah masih bisa jalan dan sempat bisa ngomong juga, tapi badannya dulu sempat panas dan kemudian diterapi di rumah sakit tapi malah tambah panas," tuturnya.
5. Tanah adat dirampas, suku tidak punya rumah dan makan ubi.
"Lahan pertanian kami tergerus akibat pengembangan kelapa sawit yang dilakukan perusahaan swasta. Saat ini, warga Binggi hanya mampu mengonsumsi Ubi Talas yang dikumpulkan dari hutan sebagai pengganti beras untuk bisa bertahan hidup," kata Ube, warga suku terasing dengan bahasa khas lokal di Pasangkayu, seperti dikutip dari Antara, Kamis (30/10).
Menurut dia, untuk mendukung ekonomi masyarakat terasing maka mereka setiap hari mengumpulkan batu gunung untuk kemudian dijual.
"Lahan kami berada di pinggiran lahan HGU milik perusahaan sawit. Bahkan, tanah adat yang turun temurun ditempati telah dirampas perusahaan sawit. Bahkan, kami diusir ke luar untuk perluasan lahan sawit milik perusahaan tanpa ganti rugi," kata Ube, yang juga tokoh masyarakat suku terasing.
Dia mengatakan untuk bertahan hidup maka suku terasing harus mengonsumsi umbi-umbian sebagai pengganti beras.
"Setiap harinya baik perempuan maupun laki-laki harus ke hutan guna mencari talas untuk dimakan pada siang hari. Setelah sorenya maka warga kembali menambang batu gunung untuk mendukung beban ekonomi," jelasnya.
Apalagi, kata dia, semenjak tanah adat yang ditempati secara turun temurun sudah tidak ada karena semua lahan itu telah "dirampas perusahaan".
"Sebetulnya kami sudah berpindah ke pinggir lahan perkebunan semenjak lahan kami jadi kebun sawit yang konon berada di kawasan HGU," jelasnya.
Ia menyesalkan karena nyaris tak ada perhatian pemerintah kepada suku terasing dengan mementingkan kapitalis yang telah menguasai lahan warga. Ube menyampaikan dusun Saluraya saat ini hanya dihuni 45 kepala keluarga dengan kondisi atap rumah yang mulai bocor-bocor dan tidak berdinding.
Sungguh sangat miris nasib orang-orang tersebut. Apa yang ada di benak pemerintah saat ini. Semoga pemerintah segera memberikan bantuan kepada orang-orang tersebut, agar mereka dapat hidup tentram. Serta tinggal di rumah yang layak.