Jilbab Sekarang Sudah Diberi Label Halal,Dan Sejak Kapan Islam di Indonesia jadi Rumit seperti ini?
“Yakinkah jilbab yang kamu pakai sudah halal?”
Baliho besar dengan tanda tanya yang tak kalah besar terpampang di sudut kota. Posisinya yang pas di depan lampu merah membuat semua mata tertuju ke sana. Geli membacanya. Sekarang mau pakai jilbab saja harus berpikir soal halal dan haramnya ya?
Produsen jilbab yang sudah punya nama di negara kita baru-baru ini mengeluarkan produk jilbab yang konon sudah mendapat label halal dari MUI. Kejadian ini membuat saya berpikir. Jelas bukan masalah jika keinginan utamanya ingin menyempurnakan ibadah. Tapi (bukankah sebenarnya) agama ini ringan dan mudah?
Bahkan di tengah perjalanan ada keringanan untuk menggabung ibadah. Dikotomi jilbab halal dan haram sangat jauh dari kata mudah
Jika ada aturan untuk menggabungkan ibadah wajib di tengah perjalanan demi keringanan pemeluknya, kenapa kita sekarang mempersulit diri sendiri dengan dikotomi macam ini? Prinsip dalam keyakinan ini memang harus dipegang. Namun unsur kemudahan dan fleksibilitas sebenarnya tak pernah hilang.
Baca Juga: inilah manfaat dan keistimewaan berwudhu sebelum tidur
Kalau untuk hal yang wajib saja kemudahan selalu tersedia, bukankan membedakan penutup kepala ke dalam 2 kategori ini jadi terlihat jenaka?
Yang mengerikan dari keyakinan adalah dia amat mudah diubah jadi komoditi. Karena industri, kita menuding ‘sesat’ dan ‘haram’ seenak hati
Perkara haram dan halal jilbab ini sesungguhnya mengerikan sekali. Jika kemudian ini diyakini bisa-bisa semua yang menempel di badan harus di cek lagi. Apakah emulsifier-nya alami — atau malah berasal dari gelatin babi?
Bisa juga muncul rasa ‘paling benar’ yang tak kalah kejam. Dikotomi halal-haram yang masih dalam batas wajar saja bisa membuat kebakaran jenggot saat membahasnya. Kali ini, hal yang seharusnya tidak perlu dibesar-besarkan berubah jadi bahan perbincangan.
Saat iman dan keyakinan jadi komoditi, kita-kita ini berubah jadi penonton yang kehilangan remote di tangan. Tidak ada yang bisa dikendalikan jika tidak teguh pada hal yang mendasar.
Bagi produsen jilbab halal (selain keuntungan) barangkali ibadah yang ‘kaffah’ jadi tujuan. Pilihannya ada di kita. Hatimu lebih tahu yang mana
Buatmu yang percaya bahwa ibadah akan lebih lengkap dengan penutup kepala yang sudah ada label Halal-nya, jelas tidak ada yang melarang untuk melakukannya. Namun jika menurutmu konsep halal di jilbab ini masih tidak masuk akal, coba tanyakan lagi ke hatimu.
Apa yang mau dikejar? Ibadahmu, atau label yang juga diberikan manusia?
Hati dan keyakinanmu akan selalu tahu yang mana.
Disclaimer: Tulisan ini bukan ada untuk mengajakmu tidak mengenakan jilbab halal. Silakan jika memang pilihan itu membuatmu lebih nyaman. Bagi saya, agama ini seharusnya sederhana. Namun kamu bisa percaya pada hal sebaliknya.
Bukankah kita tidak punya hak absolut untuk menentukan mana yang paling benar?bijak lah dalam memilih suatu perkara!.
Baliho besar dengan tanda tanya yang tak kalah besar terpampang di sudut kota. Posisinya yang pas di depan lampu merah membuat semua mata tertuju ke sana. Geli membacanya. Sekarang mau pakai jilbab saja harus berpikir soal halal dan haramnya ya?
Produsen jilbab yang sudah punya nama di negara kita baru-baru ini mengeluarkan produk jilbab yang konon sudah mendapat label halal dari MUI. Kejadian ini membuat saya berpikir. Jelas bukan masalah jika keinginan utamanya ingin menyempurnakan ibadah. Tapi (bukankah sebenarnya) agama ini ringan dan mudah?
Bahkan di tengah perjalanan ada keringanan untuk menggabung ibadah. Dikotomi jilbab halal dan haram sangat jauh dari kata mudah
Jika ada aturan untuk menggabungkan ibadah wajib di tengah perjalanan demi keringanan pemeluknya, kenapa kita sekarang mempersulit diri sendiri dengan dikotomi macam ini? Prinsip dalam keyakinan ini memang harus dipegang. Namun unsur kemudahan dan fleksibilitas sebenarnya tak pernah hilang.
Baca Juga: inilah manfaat dan keistimewaan berwudhu sebelum tidur
Kalau untuk hal yang wajib saja kemudahan selalu tersedia, bukankan membedakan penutup kepala ke dalam 2 kategori ini jadi terlihat jenaka?
Yang mengerikan dari keyakinan adalah dia amat mudah diubah jadi komoditi. Karena industri, kita menuding ‘sesat’ dan ‘haram’ seenak hati
Perkara haram dan halal jilbab ini sesungguhnya mengerikan sekali. Jika kemudian ini diyakini bisa-bisa semua yang menempel di badan harus di cek lagi. Apakah emulsifier-nya alami — atau malah berasal dari gelatin babi?
Bisa juga muncul rasa ‘paling benar’ yang tak kalah kejam. Dikotomi halal-haram yang masih dalam batas wajar saja bisa membuat kebakaran jenggot saat membahasnya. Kali ini, hal yang seharusnya tidak perlu dibesar-besarkan berubah jadi bahan perbincangan.
Saat iman dan keyakinan jadi komoditi, kita-kita ini berubah jadi penonton yang kehilangan remote di tangan. Tidak ada yang bisa dikendalikan jika tidak teguh pada hal yang mendasar.
Bagi produsen jilbab halal (selain keuntungan) barangkali ibadah yang ‘kaffah’ jadi tujuan. Pilihannya ada di kita. Hatimu lebih tahu yang mana
Buatmu yang percaya bahwa ibadah akan lebih lengkap dengan penutup kepala yang sudah ada label Halal-nya, jelas tidak ada yang melarang untuk melakukannya. Namun jika menurutmu konsep halal di jilbab ini masih tidak masuk akal, coba tanyakan lagi ke hatimu.
Apa yang mau dikejar? Ibadahmu, atau label yang juga diberikan manusia?
Hati dan keyakinanmu akan selalu tahu yang mana.
Disclaimer: Tulisan ini bukan ada untuk mengajakmu tidak mengenakan jilbab halal. Silakan jika memang pilihan itu membuatmu lebih nyaman. Bagi saya, agama ini seharusnya sederhana. Namun kamu bisa percaya pada hal sebaliknya.
Bukankah kita tidak punya hak absolut untuk menentukan mana yang paling benar?bijak lah dalam memilih suatu perkara!.
Sumber : Hipwee